I. PENDAHULUAN
Strategi Pembangunan Pertanian Nasional
Bidang Pertanian dan Perkebunan merupakan bidang yang menghasilkan komoditas
penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat produk pangan adalah
kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat
secara bersama-sama. Seperti diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 yang menegaskan landasan folisofi yang terkait dengan
segala aktivitas berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahwa bumi, air dan segala
yang berada didalamnya merupalan pemberian Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat
Indonesia sebagai anugerah sekaligus amanah untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat, saat ini dan dimasa yang akan datang (fungsi kelestarian sumberdaya).
Dalam
kerangka amanah dan pemanfataan sumberdaya pembangunan bangsa Indonesia,
pemerintah menerapkan agenda pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga
jalur (triple track strategy) yang
berazaz pro-growth, pro-employment, pro-poor. [1] Pelaksanaan ketiga konsep tersebut
dirancang melalui :
Peningkatan
pertumbuhan ekonomi diatas 6,5 % per tahun melalui percepatan investasi dan
eksport;
Pembenahan
sektor riil agar mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan
lapangan kerja baru;
Revitalisasi
sektor pertanian dan perdesaan agar mampu berkontribusi pada pengentasan
kemiskinan.
Arah
pembangunan sektor pertanian dan perkebunan secara umum adalah upayapemulihan kembali perekonomian nasional melalui upaya terobosan
dengan merevitasliasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada saat ini,
serta menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Pertumbuhan
ekonomi baru tersebut diharapkan berbasis pada keunggulan komparatif bangsa
Indonesia yang diolah menjadi keunggulan kompetitif dalam percaturan dunia.
Aras perubahan paradigma pembangunan sektor agro melalui pendekatan "resource
based economy" dan "knowledge
based economy" merupakan landasan penting dalam pembangunan yang perlu
didukung dan diterjemahkan dalam bentuk yang aplikatif dilapangan. Terutama
untuk mengoptimalkan sumber daya ekonomi yang sudah ada dan mengintergrasikan
dengan inovasi perkembangan ilmu pengetahuan baru untuk mendapatkan sumber daya
ekonomi baru.
Revitalisasi
terhadap sumberdaya ekonomi sektor agro yang sudah ada, merupakan salah satu
langkah penting yang feasible dan harus
didukung semua pihak, karena upaya
revitalisasi semua sektor akan mampu mempercepat pemulihan ekonomi mayarakat
yang saat ini sedang mengalami penurunan.
Revitalisasi
pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali dan
membangun komitmen tentang arti penting sektor pertanian secara proporsional
dan kontekstual; dalam arti menyegarkan kembali vitalitas; memberdayakan
kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan
tidak mengabaikan sektor lain. (Rencana
Pembangunan Pertanian Tahun 2006, Departemen Pertanian 2005)
Kondisi Aktual dan Permasalahan
Sektor Pertanian merupakan sektor yang sangat mendasar
bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia, maka Indonesia adalah Negara agraris bukan
sebutan yang tanpa dasar. Sebagai Negara agraris, tentu membuktikan bahwa
sektor pengaman ekonomi riil bangsa Indonesia terletak di sektor ini. Sekilas
dapat digambarkan kontribusi sektor pertanian adalah sebagai berikut :
Tabel 1 : Kontribusi Sektor Pertanian
Sektor
|
PDB (%)
|
Ekspor Non Migas (%)
|
Penyerapan Tenaga Kerja (juta Naker)
|
|||||
Th 2000
|
Th 2003
|
Th 2000
|
Th 2003
|
Th 2004
|
Th 2004
|
|||
Pertanian
|
15.6
|
15
|
5.67
|
5.33
|
5.73
|
34.97
|
||
Kelautan
dan Perikanan
|
2.3
|
2.5
|
3.51
|
3.47
|
-
|
3.37
|
||
Kehutanan
|
1.6
|
1.5
|
-
|
-
|
-
|
2.3
|
||
Sumber : Peran Pertanian, Kelautan-Perikanan
dan Kehutanan dalam Perekonomian Nasional, Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Rapat Kerja
dengan Komisi IV DPR-RI, Juni 2005.
Pertumbuhan sektor pertanian Indonesia turun
2,3%/tahun, sub-sektor pangan merosot 0,5 %/tahun. Padahal sub-sektor ini
memegang peran sekitar 60% GDP pertanian atau sekitar 8% GDP sub-sektor tanaman
pangan. Sejak 1994, Indonesia beralih dari negara net food exporter berubah menjadi net food importer. Pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor
pangan (net importer) sekitar US$ 863
juta/tahun, padahal periode 1989-91, Indonesia mengekspor pangan (net exporter) sekitar US$ 418
juta/tahun.[2]
Memang harus diakui sektor pertanian merupakkan tulang
punggung perekonomian bangsa yang mampu menyediakan bahan makanan atau bahan
baku bagi industri-industri pengelolaan. Kontribusi terhadap PDB dan penyerapan
tenaga kerja di bidang ini sangat signifikan. Selama kurun waktu 1969 – 2004
dapat dikatakan kontribusi sektor agrobisnis mengalami penurunan cukup tajam.
Penurunan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tentu faktor
dari kinerja pelaku –pelaku bidang agribisnis yang semakin menurun seiring
semakin tidak berimbangnya faktor produksi lainnya seperti ; kondisi lahan dan
lingkungan, kondisi social budaya, tingkat SDM yang masih rendah dan tidak
berimbangnya pemerataan sehingga kemampuan komparatif sumberdaya rakyat dan
bangsa Indonesia tidak mampu di tingkatkan menjadi kemampuan kompetitif.
Keterangan : Hanya sampai pada triwulan I tahun
2004
Sumber : BPS, 2004 (dalam Sa’id, E.Gumbira et al.2005)
Gambar 1 : Kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDB
Indonesia Tahun 1969-2004
Dalam bidang subsektor perkebunan, Indonesia mempunyai
peluang yang sangat besar untuk menjadi produsen dan sekaligus eksportir
komuditas perkebunan. Namun potensi tersebut masih belum dimanfaatkan secara
optimal.
Tabel 2 : Pertumbuhan Ekspor Produk-Produk Perkebunan
Indonesia
Aspek
|
Nilai
|
||||
Karet
*
|
Minyak
Sawit *
|
Kopi
*
|
Kakao**
|
Teh
***
|
|
Pertumbuhan
eksport
|
-0.417
|
-0.202
|
-0.449
|
0.379
|
-0.259
|
Pertumbuhan
dunia (standar)
|
0.050
|
-0.280
|
-0.196
|
0.007
|
0.029
|
Pengaruh
komposisi Produk
|
-0.264
|
2.000
|
0.196
|
-0.016
|
-0.032
|
Pengaruh
distribusi pasar
|
-0.113
|
-2.076
|
-0.243
|
0.045
|
-0.045
|
Pengaruh
persaingan
|
-0.089
|
0.154
|
-0.205
|
0.277
|
-0.211
|
Keterangan
|
*
|
Tahun
1996-2000
|
|||
**
|
Tahun
1995-1999
|
||||
***
|
Tahun
1997-2001
|
Sumber
: Gumbira-Sa'id et al.,20004 dalam Agribisnis, Syariah Sa'id,.E.Gumbira
dan Yayuk Eka Prastiwi, 2005
Dibalik potensi yang sangat besar, sektor pertanian
dan khususnya subsektor perkebunan masih banyak menemui kendala, antara lain :
Rendahnya tingkat kesejahteraan pelaku (petani)
sebagai pihak yang paling dasar dan pelaku langsung kegiatan usaha
pertanian/perkebunan. Tingginya tingkat ketergantungan terhadap beras dan
ketahanan pangan di tingkat rumahtangga sebagian besar rakyat Indonesia, Rendahnya
produktivitas dari sektor ini serta masih rendahnya inovasi dan pemahaman
teknologi tepat guna yang dapat diterapkan untuk meningkatkan nilai barang dan
jasa.
Setelah melihat potret / kondisi bidang pertanian
tersebut, pemerintah berusaha untuk mengambil langkah strategis jangka panjang
dengan menerapkan sendi-sendi kebijakan pembangunan berjangka dibidang
pertanian, kelautan dan perikanan serta kehutanan yang terangkum dalam
Peraturan Presiden republik Indonesa Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana pembangunan Jangka Menengah Nasional
2004-2005. Secara umum kebijakan RPJM yang telah dirumuskan antara lain :
- Peningkatan kemampuan petani dan nelayan serta pelaku pertanian, kelautan dan perikanan dan kehutanan serta penguatan lembaga pendukungnya: (i) Revitalisasi penyuluhan dan pendampingan, (ii) Menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian dan perdesaan, dan (iii) Meningkatkan kemampuan SDM pertanian.
- Peningkatan ketahanan pangan yang mengarah pada (i) Swasembada dengan peningkatan produktivitas penanaman dan pengendalian konversi lahan dan Peningkatan jaringan jalan, irigasi dan permodalan pertanian; (ii) Diversifikasi pangan; (iii) Peningkatan ketersediaan dan konsumsi protein; (iv) Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan pencegahan serta penanggulangan masalah (gangguan ketahanan) pangan.
- Peningkatan produktivitas, produksi daya saing dan nilai tambah hasil pertanian, perikanan dan kehutanan, dengan; (i) Memfokuskan pada sub sektor/usaha yang memiliki 'sejarah' dan prospek pertumbuhan tinggi sehingga meningkatkan pendapatan petani; (ii) Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan terpadu dengan konsep pengembangan agribinis sehingga terjadi Peningkatan skala ekonomi, efisiensi dan mendukung perekonomian perdesaan dan daerah; (iii) Meningkatkan dukungan dan insentif untuk meningkatkan pasca panen dan pengolahan, standard mutu dan keamanan produk, serta memberikan perlindungan terhadap petani dari persaingan yang tidak sehat; (iv) Mengembangkan sistem pemasaran dan manajemen usaha untuk mengelola resiko usaha.
Sudah saatnya keberpihakan kebijakan pemerintah
melalui program –program revitalisasinya menjadi salah satu stimulan bagi
pelaku pertanian dan perkebunan Indonesia untuk kemudian dijadikan pedoman dan
ditindak lanjuti dalam usaha pembangunan di sektor agro berbagai bidang, pelaku
dan lokasi sesuai dengan kondisi setempat.
II. BUMN PERKEBUNAN
Diantara banyak pelaku yang bergerak di bidang
pertanian khususnya perkebunan, BUMN perkebunan adalah salah satu stake holder yang relative dominant bila
dibanding BUMS. Keberadaan BUMN perkebunan sebenarnya merupakan wujud
keberpihakan pemerintah dalam menata, melindungi dan meningkatkan peran sektor
ini dalam pembangunan nasional. Keberadaan BUMN telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 19/2003 tentang BUMN dan dilengkapi dengan aturan
pelaksananya seperti ; Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tentang tata cara
privatisasi perusahaan perseroan (persero); Peraturan Pemerintah (PP) No. 43
tentang penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan perubahan bentuk badan
hukum BUMN; Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 tentang tata cara penyertaan dan
penatausahaan modal negara pada BUMN dan PT; Peraturan Pemerintah (PP) No. 45
tentang pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran BUMN. Berbagai aturan
tersebut selain untuk menempatkan eksistensi BUMN sebagai perangkat Negara juga
untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan/perubahan kebijakanan pemerintahan
seperti adanya UU Otonomi Daerah.
Kontribusi BUMN ke daerah cukup signifikan karena BUMN
adalah objek dan subjek pajak pusat dan dikembalikan ke daerah dalam
bentuk DAU. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, pajak-pajak dan Deviden
dari perolehan laba bersih BUMN di setor ke Kas Negara yang kemudian
dikembalikan ke Pemerintah Daerah dalam bentuk DAU. Selain itu, BUMN diwajibkan
membayar pajak di daerah yang meliputi PBB, kenderaan bermotor dan retribusi
lainnya yang diterima langsung Pemerintah Daerah.
Selan itu kebijakan tentang BUMN adalah untuk
mengoptimalkan efisiensi BUMN di daerah agar pemerintah sebagai Regulator
menciptakan keamanan usaha yang kondusif. Upaya lainnya agar semua pihak
mengurangi pungutan-pungutan sehingga kinerja dan laba BUMN meningkat yang pada
gilirannya meningkatkan kontribusi BUMN ke daerah dalam bentuk DAU, pajak
dan retribusi daerah serta memperluas lapangan kerja dan Multiplier Effect lainnya.
Berbagai payung kebijakan yang telah di keluarkan
pemerintah sebenarnya mengandung makna bahwa masih perlunya peningkatan kinerja
dan kontribusi dari BUMN khususnya perkebunan dalam pembangunan nasional dalam
ekskalasi yang lebih luas. Berbagai usaha dan upaya sedang dilakukan saat ini,
seperti adanya usaha penggabungan beberapa BUMN yang dipandang tidak produktif
atau kontra produktif dalam pencapaian tujuannya. Padahal disatu sisi BUMN
merupakan ujung tombak dari pemulihan ekonomi nasional. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 19/2033 tentang BUMN
masih mengatur BUMN sebagai sebuah lembaga ekonomi negara dan tentunya masih
belum cukup untuk dapat memayungi aktivitas dalam bidang khusus perkebunan
mengingat masalah dan tantangannya sangat berbeda dengan sektor lainnya.
Dalam BUMN Summit yang berlangsung di Jakarta 26-27
Januari tahun 2005, Menneg BUMN Sugiharto mengatakan, pemerintah akan
menggabung sejumlah BUMN Pupuk dan BUMN Perkebunan masing-masing dalam bentuk
induk perusahaan (holding) guna
meningkatkan produktivitas, dan pendapatan. Diskursus penggabungan
masing-masing BUMN tersebut merupakan suatu kebutuhan guna menciptakan sinergi
baru, dalam rangka program revitalisasi BUMN yang diterapkan pemerintah pada
masa 2005-2009. diperkirakan sebanyak 54 BUMN akan digabung menjadi 21
perusahaan, dan sisanya akan dipertahankan menjadi perusahaan sendiri dan akan
disatukan dalam sepuluh perusahaan induk.
Reformasi Struktural dan Kultural di BUMN perkebunan,
merupakan prasyarakat pokok dan penting untuk meningkatkan performanya dalam
mengemban tanggugjawab sebagai lembaga Negara yang mempunyai keberpihakan dalam
membangun sektor perkebunan yang siap dan mampu eksis dan bersaing di era globalisasi
dan pasar bebas.
III. SINTESA PEMIKIRAN
Dalam rangka meningkatkan performa pembangunan sektor
pertanian (khususnya subsektor perkebunan) yang selaras dengan cita-cita bangsa
Indonesia yaitu Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, mengurangi pengangguran,
meningkatkan daya saing, membangun ketahanan pangan, membangun perdesaan,
membangun daerah dan mengurangi ketimpangan antar wilayah dan melestarikan mutu
lingkungan hidup, diperlukan visi dan
misi yang jelas dan mampu memberi kontribusi kuat terhadap komitmen terhadap
langkah-langkah operasional para pihak (stake
holder) dalam memaknai “arti penting” sektor agro secara proporsional,
kontekstual dan komprehensif sebagai bagian dari Sistem Pembangunan dan
Pemberdayaan Nasional.
Pemahaman terhadap kondisi sektor agro nasional akan
memberi gambaran yang tepat terhadap keberadaan masing-masing sektor dalam
konteks pembangunan nasional. Harapannya adalah dapat memberikan variasi
pilihan metode yang dapat berbeda antara
sektor yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan spesifikasi kontens lokasi,
sumberdaya, teknologi, sosial budaya dan kelembagaan.
Secara garis besar arah revitalisasi pertanian yang
diharapkan mampu dipenuhi meliputi :
- Arah masa depan petani berkaitan dengan: (a) Akses petani terhadap layanan dan sumberdaya produktif; (b) Perlindungan petani dalam melakukan aktivitas usaha pertanian; (c) Peningkatan kemampuan dan keberdayaan petani untuk mengembangkan aktivitas usaha pertanian yang dilakukannya; dan (d) Peningkatan pendidikan, status gizi dan ketahanan pangan petani serta kesetaraan gender yang baik.
- Arah masa depan usaha pertanian berkaitan dengan: (a) Perlindungan dan kepastian hukum terhadap kegiatan usaha pertanian; (b) Lingkungan usaha yang mendukung usaha pertanian terutama berbagai peraturan terkait yang dapat meningkatkan daya saing dan produktivitas usaha; dan (c) Akses terhadap dukungan pembiayaan, informasi dan teknologi yang aktual dan sesuai dengan perkembangan usaha dan dinamika bisnis.
- Arah masa depan produk dan bisnis pertanian berkaitan dengan perannya dalam: (a) Membangun ketahanan pangan masyarakat yang terkait dengan aspek-aspek: pasokan produksi, pendapatan, keterjangkauan dan kemandirian; (b) Sumber pendapatan devisa yang terkait dengan keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar internasional; (c) Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru yang terkait dengan peluang peningkatan usaha baru; dan (d) Pengembangan produk baru yang terkait dengan isu global dan pengembangan ke depan.
Bentuk revitaliasi tetap mengacu dan berkaitan dengan
arah masa depan petani/masyarakat disekitar kawasan dan Indonesia pada umumnya
dengan mengembalikan ideology pertanian sebagai basis kesejahteraan rakyat
bukan asas bisnis pertanian rakyat. Pemahamannya adalah sebagai berikut, bahwa
kehidupan pertanian berbasis lahan bagi petani/pelaku mayarakat di Indonesia
bukan merupakan produk system bisnis, tapi adalah produk budaya sebagai
mayarakat agraris yangtelah dilakukan sejak turun temurun. Jadi pemahaman
terhadap budaya bertani bukan budaya bisnis seperti yang digambarkan oleh
banyak pihak dengan mengambil potret petani sebagai pelaku bisnis yang banyak
berkembang di Negara yang sudah maju.
Dalam konteks pemikiran ini peningkatan kesejahteraan
masyarakat petani menjadi sebuah proses jangka panjang dan merupakan proses
evolusi perubahan paradigma yang tidak semerta-merta di ukur melalui indikator
ekonomi. Peran BUMN Perkebunan tidak hanya mengelola faktor produksi (SDM dan
Lahan Pertanian) namun juga diharapkan mampu memberikan fasilitasi dan
perlindungan terhadap pertanian sebagai budaya dari ancaman globalisasi berupa
komersialisasi yang hanya menekankan kepada pemanfataan faktor produksi yang
murah untuk mendapatkan nilai keuntungan yang besar. Hal ini lah yang selalu
menjadi keunggulan bangsa Indonesia, namun secepatnya harus dirubah menjadi
keunggulan kompetitif dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Aras masa depan pelaku usaha bidang pertanian
(agrobisnis), hal ini yang menjadi salah satu kunci keberhasilan sektor agro
dalam peningkatan persaingan produksi barang dan jasa. Aras ini mengandung
makna penguatan kelembagaan sebagai fungsi ekonomi produksi. Lembaga pelaku
bisnis di subsektor perkebunan hendaknya menjelma menjadi lembaga ekonomi yang
efisien dan produktif dengan meningkatkan nilai produksi dan jasa melalui
adopsi ilmu dan teknologi yang sudah berkembang dan mampu menjadikan keunggulan
budaya, lahan dan jenis produk (keunggulan komparatif) yang sudah ada menjadi
keunggulan kompetitif dalam bidang teknologi.
BUMN sebagai aktor ekonomi hendaknya menjelma menjadi lembaga ekonomi
yang terbebas dari segala bentuk interfensi (terutama politik kekuasaan),
dengan adanya aturan main yang jelas (peraturan perundangan) diharapkan akan
menghindari kinerja BUMN sebagai mesin pendukung politik kekuasaan. Adanya
keberpihakan Negara dan iklim usaha yang kondusif akan membawa BUMN menjadi
lebih professional dalam melakukan fungsi dan tugasnya.
Aras masa depan produk dan bisnis pertanian khususnya
subsektor perkebunan, revitalisasi BUMN Perkebunan dalan koridor ini masih
sangat kompleks dan dalam proses perdebatan. Harapan utama segara dibuatnya
aturan khusus mengenai perkebunan, sehingga fungsi untuk mendapatkan devisa
dapat tercapai namun eksistensi masyarakat petani yang berfungsi sebagai pilar
pembangunan tidak termarginalkan. Kepatian hukum dan legalitas masih menjadi
pekerjaan rumah yang harus secepatnya terselesaikan sehingga tidak menggaggu
proses pengembangan / inovasi pengembangan produk perkebunan sebagai buah hasil
akhir adanya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan daya
kompetensi BUMN Perkebunan dalam menghadapi era globalisasi dan pasar bebas.
IV. TANTANGAN DAN PELUANG
Tantangan
- Dunia perkebunan menghadapi tantangan sangat berat, yaitu tren harga riil produk-produk primer seperti perkebunan yang terus menurun. Sebagai ilustrasi indeks harga riil produk primer pada tahun 1870 adalah 120, tahun 1990 menjadi 60. Apabila diasumsikan tren ini berlanjut, pada 2090 nilainya menjadi nol. Hal sebaliknya terjadi pada produk olahannya.
- Permasalahan lainnya adalah meningkatnya kelangkaan sumber daya lahan akibat peningkatan penduduk yang sangat cepat. Pada tahun 2020 diperkirakan penduduk Indonesia lebih dari ± 270 juta jiwa, meningkat lebih dari 60 juta jiwa dari sekarang.
- Permasalahan kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan, dan menanggung jumlah pengangguran yang sangat besar, serta kerusakan lingkungan hidup yang parah.
- Dalam upaya mempercepat dan mempertajam visi pengembangan dan aplikasi teknologi, perlu ditingkatkan lagi penelitian dan pengembangan. Berdasarkan hasil penelitian LIPI tahun 1996, kontribusi penelitian dan pengembangan kita terhadap PDB paling kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Seperti Jepang kontribusi Litbangnya adalah 2,8 % terhadap PDB. Kemudian Korea Selatan 2,2 %, Taiwan 1,7 %, Singapura 1,3 %, Cina 0,7 %, sedangkan Indonesia hanya 0,16 %.
- Diversifikasi produk perkebunan masih sangat terbatas, sampai saat ini masih didominasi oleh produk-produk minyak sawit, karet, kakao, kopi dan tembakau.
- Pangsa Ekspor Agroindustri rata-rata masih dibawah ± 10 %, walaupun ada peningkatan nilaieksport komuditas hanya didominasi jenis tertentu.
Peluang
Sebagai negara agraris yang besar dengan potensi
sumber daya alam yang beragam, Indonesia mempunyai berbagai peluang untuk
mencapai tujuan pengembangan sektor perkebunan secara berkelanjutan sebagai
berikut :
- Keragaman sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang besar yang dapat dimanfaatkan melalui pemanfaatan dan pengembangan produk .
- Perkembangan teknologi yang pesat dalam berbagai aspek ; produksi, pasca panen dan pengolahan, distribusi, pemasaran untuk meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas dan efisiensi.
- Perubahan manajemen pembangunan dan pemerintah kearah desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang memudahkan pencapaian kemandirian produksi dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.
V. Tinjauan Strategi BUMN Perkebunan
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh BUMN
Perkebunan dalam menapak era-globalisasi dan pasar bebas dapat di tinjau dari beberapa aspek, yaitu : 1) Sejarah Perkebunan
di Indonesia, 2) Pemberdayaan Masyarakat, 3) Kelembagaan dan Manajemen, 4) Kualitas
Sumberdaya Manusia, 5) Sistem
Pengawasan.
Sejarah Perkebunan Indonesia
Dengan melihat sejarah perkebunan, mungkin kita
akan mendapatkan gambaran potensi dan perjalanan panjang pengelolaan perkebunan
di Indonesia. Tinjauan kesejarahan diharapkan mampu memberi batasan-batasan
substansial terhadap budaya dan potret kehidupan masyarakat yang terlibat
didalamnya. Sejarah mencatat bahwa adanya penjajahan di Indonesia dikarenakan
hasil bumi yang melimpah dan berkualitas sehingga melalui transaksi perdagangan
antara pedagang asing dengan kaum pribumi memunculkan jaringan perdagangan yang
kita kenal dengan sebutan VOC (Verenidge
Oostindische Compagnie). Hegemoni penjajahan mulai terbentuk dengan
munculnya tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda.
Agrarisch Wet 1870 merupakan cikal bakal perusahaan
perkebunan besar yang roh dan jiwanya hingga sekarang masih hidup, sebagaimana
dapat dilihat dalam struktur ekonomi dualistik. Dalam struktur ini kehidupan
perusahaan besar yang dicirikan oleh manajemen dan organisasi modern
berdampingan dengan perkebunan rakyat yang dilaksanakan oleh para pekebun kecil
yang sederhana dan "tradisional".[3]
Sekitar 100 tahun setelah Agrarisch Wet 1870, yaitu
tahun 1970-an, pemerintah mulai mengembangkan perkebunan besar badan usaha
milik negara (BUMN) dengan menggunakan pinjaman luar negeri. Pola Perusahaan
Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dikembangkan. Pada 1980-1990-an awal
perusahaan besar swasta mulai masuk perkebunan, didukung oleh Program
Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN).[4]
Peran pemerintah dalam mendorong perkebunan besar ini,
baik BUMN maupun swasta sangat besar, sebagaimana dapat dilihat dalam
perkembangan luas areal. Luas areal kelapa sawit milik BUMN dan swasta pada
1968 masing-masing hanyalah 79 ribu dan 41 ribu hektar. Tahun 2002 luas areal
perkebunan milik BUMN dan swasta masing-masing menjadi 545 ribu dan 2,3 juta
hektar.[5] Dengan
berakhirnya dukungan pembiayaan untuk investasi di bidang perkebunan,
percepatan investasi terlihat menurun.
Akibat dari stimulan yang telah dilakukan pemerintah
terhadap perkebunan besar ternyata berdampak pula pada berkembangnya perkebunan
rakyat secara mandiri. Perkembangan ini dipicu karena pemerintah mampu
memberikan iklim yang baik dan adanya prioritas program pengembangan perkebunan
di daerah-daerah.
Kemajuan perkebunan yang sangat pesat,
khususnya kelapa sawit, tidak dapat dimungkiri berkat dorongan pemerintah
dengan segala perangkat kebijaksanaannya, mulai dari lahan perkebunan hingga
pembiayaannya yang disubsidi. Dengan jumlah pengangguran yang sangat besar,
prasarana dan sarana yang tertinggal di daerah pedesaan, kemiskinan dan
kesenjangan sosial, serta kerusakan lingkungan hidup, yang semua itu tidak
dapat diselesaikan oleh mekanisme pasar (persaingan), pemerintah perlu
mengambil inisiatif dalam mengatasi hal ini.
Diperlukan sikap yang lebih bijaksana bagi pemerintah
dan pelaku perkebunan melalui resolusi terhadap konflik sumberdaya dan peran antara
pelaku bisnis perkebunan yang sudah ada dengan masyarakat atau lembaga rakyat
yang ada disekitar kawasan. Benang merah
yang harus dipegang oleh para pengambil kebijakan adalah bahwa persoalan
perkebunan yang dalam sejarahnya selalu berakhir dengan marginalisasi petani /
masyarakat sekitar bukan semata-mata persoalan pasar (suplai dan kebutuhan)
namun lebih kepada persoalan budaya berkebun dan keberpihakan terhadap petani/organsisasi
lokal sebagai patner kerja yang setara dan berimbang.
Pemberdayaan Masyarakat
Amanat terhadap pemberdayaan masyarakat mengandung
makna bahwa BUMN Perkebunan dalam menjalankan usaha harus mampu memberi
kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan terhadap petani/ masyarakat yang
ada disekitarnya dengan cara pelibatan masyarakat sebagai komponen produksi
yang tidak terpisahkan dan sebagai sasaran utama. Komponen produksi yang
dimaksud bukan hanya melihat masyarakat sebagai individu dalam penyerapan
tenaga kerja, namun memasukkan masyarakat sebagai satuan komunitas yang memiliki
tata nilai dan budaya dengan cara penguatan terhadap kelembagaan masyarakat
baik secara ekonomi maupun sosial budaya.
Kunci sukes dari pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat bukan hanya terletak pada keserasian
kerjasama antara seluruh unsure stakeholder,
melainkan pada paradigma baru pemberdayaan yang benar-benar mampu mengisi
kepentingan era Indonesia menghadapi globalisasi dan pasar bebas, yang
rumusannya banyak menyikapi tuntutan perkembangan ke depan yang lebih
humanistik. Semua itu bertumpu pada keyakinan bahwa masyarakat mempunyai modal
sosial serta berkemampuan untuk mendayagunakan seluruh potensinya.
Untuk mendukung upaya pemberdayaan tersebut diperlukan
prinsip-prinsip yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pemberdayaan dalam
pengembangan BUMN perkebunan yaitu : debirokratisasi, partisipasi, privatisasi,
transparansi, akuntabilitas, desentralisasi, pemberdayaan yang bertumpu pada
penguatan kapasitas local, meningkatkan aspirasi hidup, program yang berskala
besar (multi sektoral, multi fungsi dan muti pelaku), program yang
integralistik (menyeluruh), melibatkan perempuan (bebas jender) dan pemanfaatan
organisasi lokal.[6] Namun
dalam implementasinya perlu disikapi secara kritis, karena peran dan fungsi
BUMN Perkebunan sangatlah kompleks sebagai sumber devisa, agen pembangunan
pemerintah, katalisator pengembangan usaha pertanian (agribisnis) sekaligus
fungsi perlindungan dan keberpihakan kepada masyarakat (Negara).
Komitmen diri bagi pelaku pemberdayaan danpembangunan
sangat penting dan menjadi syarat pokok dalam menjalankan prinsip-prinsip
pemberdayaan diatas. Sebaik apapun program revitalisasi BUMN dan pemberdaya
masyarakat, tanpa disertai dengan komitmen, etika dan moral, maka semua akan
sia-sia dan sepanjang itu pula permasalahan akan selalu ada. Kegagalan yang
selama ini ditemui dalam program-program pemberdayaan adalah hilangnya “Etika Pemberdayaan” bagi pelaku
pemberdayaan dan pembangunan.
Kelembagaan dan Manajemen
Keberhasilan dan kegagalan pembangunan perkebunan dipengaruhi
oleh efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen pembangunan yang
meliputi aspek perencanan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta
koordinasi berbagai kebijakan dan program. Masalah yang dihadapi dalam aspek
manajemen adalah:
- Terbatasnya ketersediaan data yang akurat, konsisten, dipercaya dan mudah diakses yang diperlukan untuk perencanaan pengembangan perkebunan;
- Belum adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan masyarakat kecil di bidang perkebunan (BUMN bukan sekedar funsi dan peran sebagai badan usaha Negara semata namun masih diperlukan perangkat hukum yang melingkupi aktivitas perkebunan yang kompleks dan mempunyai sejarah panjang di Indonesia);
- Lemahnya koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam lingkup instansi dan antar instansi, subsektor, sektor, lembaga pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah dan antar daerah. Hal ini berpengaruh terhadap pola keterpaduan model pengusahaan dan pengelolaan perkebunan sebagai sebuah bangunan system agribisnis yang multi pihak.
Sumber : Sumarjo,. et al,
2004
Gambar
2 : Keterkaitan antar lembaga pengembangan
system agribisnis
Salah
satu model keterpaduan kelembagaan pendukung system agribisnis seperti dalam gambar, dapat memberi penjelasan bahwa diperlukan
bentuk keterpaduan antar pihak yang sebelumnya telah dikondisikan dengan baik
dan disertai komitmen tentang peran masing-masing lembaga.
Penguatan kapasitas kelembagaan sangat erat kaitannya
dengan aspek manajemen. Untuk menunjang visi dan misi yang telah ditetapkan, kapasitas
kelembagaan BUMN Perkebunan harus ditingkatkan. Dalam rangka proses
pemberdayaan petani dan lembaga lokal, kelembagaan BUMN perlu melakukan
kerjasama dengan lembaga/pihak lain, khususnya lembaga-lembaga lokal dimana
BUMN tersebut melakukan aktivitasnya. Kelembagaan lokal yang dimaksud bukan
kelembagaan instan yang dibentuk pemenuhan proyek, namun lembaga yang sudah
mempunyai nilai-nilai atau norma-norma tertentu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat. Dengan demikian
peningkatan kelembagaan ditingkat lokal akan sinergis dengan aspek pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat petani setempat (sebagai individu petani maupun
sebagai bagian dari kelompok masyarakat).
Dalam upaya peningkatan kapasitas kelembagaan BUMN,
sebaiknya menggunakan fasilitator publik yang secara langsung tidak mempunyai
nilai kepentingan terhadap aktivitas usaha perkebunan yang dilakukan oleh BUMN.
Sehingga diharapkan dapat menghindari adanya parkatik-praktik KKN yang selama
ini selalu melekat dan menjadi icon BUMN. Peningkatan kapasitas kelembagaan
dilakukan melalui 2 aras, yaitu aras horisontal dan aras vertikal. Aras horisontal yaitu pengembangan jaringan
kerjasama dengan lembaga yang levelnya sama dan mampu mendukung usaha produksi
yang diemban BUMN Perkebunan sebagai lembaga ekonomi pemerintah. Sedangakan
aras vertikal dilakukan terhadap lembaga-lembaga yang cakupan kegiatannya lebih
luas dan atau posisinya lebih tinggi. Jaringan semacam ini sangat penting,
terutama agar pelayanan yang diberikan oleh BUMN Perkebunan dapat terus
berkembang, selalu aktual sesuai dengan perkembangan masyarakat baik secara
ekonomi-pasar maupun dinamika sosial-kultural. Jaringan yang luas akan membuka
cakrawala pemikiran-pemikiran baru, sehingga alternatif solusi yang dihadapi
BUMN Perkebunan untuk ekspansi pasar maupun produksi dalkam bentuk baru yang
lebih efektif dan efisien.
Kualitas Sumberdaya Manusia
Kualitas sumberdaya manusia adalah aset yang sangat
berharga, oleh karena itu setiap program-program revitalisasi perkebunan harus
didukung oleh ketersediaan SDM yang cukup dan kompeten. Dalam rangka
peningkatan SDM dapat dilakukan melalui upaya-upaya pelatihan yang diantaranya
dapat dilakukan melalui metode a
dispersed approach yaitu pendekatan yang memungkinkan semua stakeholder
BUMN Perkebunan mampu mengenal inovasi baru (informasi dan teknologi) yang
dintroduksi oleh lembaga-lembaga riset dan pengembangan (lembaga penelitian).
Sedangkan pendekatan yang sudah lajim diterapkan adalah melalui metode a concentrated approach yaitu pendekatan
terpusat dan struktural yang biasa kita kenal dengan munculnya pusat-pusat
pelatihan. Namun hal ini perlu dicermati kembali karena banyak mengeluarkan
biaya (inefisien) dan kadang tidak signifikan
dengan hasil yang diharapkan. Pendekatan a
concentrated approach dapat dilakukan terutama pada bentuk-bentuk
peningakatan kapasitas manusia yang lebih spesifik.
Upaya peningkatan kualitas sumberdaya tidak hanya
menekankan kepada kemampuan dan keahlian, namun perlu juga dilakukan pembinaan terhadap
pola pikir atau reorientasi yang selama ini lebih didominasi pada pola
birokrasi yang bekerja semata-mata demi penghasilan (uang) dan rejim yang
sedang berkuasa. Perlu perubahan kearah pekerjaan untuk memenuhi kesejahteraan client, dengan harapan kehadiran BUMN
Perkebunan selalu eksis dimata stakeholder-nya,
baik masyarakat petani, masyarakat umum serta konsumen sebagai prasyarat
membangun keunggulan kompetitif dipasar global.
Sistem Pengawasan
Kesan BUMN Perkebunan yang lamban, birokrastis, sarang
KKN dan merupakan produk politik kekuasaan perlu di kikis dengan menerapkan
sistem pengawasan yang baik, independen dan penuh dengan komitmen terhadap
pemberantan KKN. Pembenahan terhadap sistem pengawasan menjadi salah satu
proses revitalisasi menuju BUMN yang produktif, efisien dan kompetitif, sektor
pengawasan diharapkan akan mengurangi dampak biaya ekonomi tinggi yang selama
ini menjadi kendala akut di badan usaha ekonomi negara ini. Syarat pengawasan
yang efektif dan efisien adalah adanya transparansi, namun untuk memenuhi
syarat tersebut bukan hal yang mudah, oleh karena itu sistem pengawasan
dibenahi sambil berevolusi kearah pertanggung jawaban terhadap publik.
Sistem pengawasan dapat dimulai dengan 2 pendekatan,
yaitu : pengawasan internal dan pengawasan publik. Pengawasan internal lebih
menekankan kepada upaya pengawasan proses dan aktivitas produksi BUMN
Perkebunan dalam memenuhi tujuannya sesuai dengan aturan, nilai dan perangkat
hukum yang melekat sebagai badan usaha milik negara. Yang menjadi hak kritis
dalam pengawasan internal adalah penentuan atribut pengawasan. Penentuan atribut
pengawasan harus mempertimbangkan efektifitas dan bias dari perangkat
pengawasannya, untuk menghindari adanya informasi yang tidak akurat sebaiknya
atribut pengawasan di tentukan berdasarkan proses semua kegiatan dari
perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pengawasan. Penentuan dan uraian
terhadap atribut pengawasan sebaiknya dilakukan oleh pihak ke-3 yang terlepas
dari bias kepentingan internal BUMN.
Pengawasan publik dapat diartikan sebagai bentuk
mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh lembaga publik seperti yang sudah
dilakukan saat ini. Namun hal yeng perlu di kembangkan adalah bentuk komunikasi
publik sehingga lembaga BUMN dapat berkomunikasi secara bebas dan terbuka
dengan konstituennya berkaitan dengan aktivitas dan program yang dilaksanakan.
Membuka ruang komunikasi publik adalah cara yang efektif untuk mengetahui
dengan cepat mengenai dampak ativitas maupun masukan yang berasal dari publik
terhadap adanya indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan perangkat BUMN
dalam melaksanakan aktivitasnya. Kanalisasi
informasi publik merupakan awal yang baik untuk mengembangkan budaya
transparansi, dengan harapan icon BUMN yang selama ini negatif dapat dikurangi
melalui terobosan-terobosan sistem pengawasan yang efektif.
VI. PENUTUP
Dengan memperhatikan Pedoman Revitaliasi Pertanian,
Pedoman Revitalisasi BUMN dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, maka
kebijakan dan program yang akan ditempuh dalam membangun BUMN Perkebunan yang
produktif, efisien dan kompetitif dengan mengoptimalkan sumberdaya yang sudah
ada. Prinsip keseimbangan dalam menjalankan aktivitas baik ditinjau dari sisi
ekonomi, sosial dan lingkungan, adalah keniscayaan BUMN Perkebunan akan siap
dan mampu berkompetisi dalam era globalisasi dan pasar bebas. Secara garis besar kebijakan dan
program yang harus dioptimalkan meliputi :
- Intensifikasi perkebunan, mengotimalkan luas lahan perkebunan yang sudah ada melalui adaptasi pengebangan ilmu dan teknologi, sehingga dapat diterapkan dengan tetap menjaga kesimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan;
- Diversifikasi produk perkebunan, indikator peningkatan nilai tidak dibarengi dengan penguasaan pangsa produk, Indonesia mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang tinggi dan masih banyak produk unggulan yang belum teridentifikasi;
- Pedekatan Investasi dibaringi dengan pendekatan konsumsi domestik, pengembangan perkebunan melalui investasi memang masih menjadi primadona namun perlu juga dipertimbangan dengan upaya peningkatan konsumsi domestik yang sangat potensial;
- Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan ekonomi rakyat, dampak pemberdayaan adalah peningkatan kesejahteraan yang sesuai dengan karaketeristik dan kualitas SDM, bukan menciptakan ketergantungan, melainkan memicu keberdayaan terhadap kemampuan konsumsi yang layak sesuai dengan dinamika dalam masyarakat itu sendiri;
- ·Revitalisasi manajemen dan kelembagaan melalui peningkatan kapasitas lembaga serta kanalisasi terhadap komunikasi publik, sehingga manajemen pengawasan lebih efektif dan efisien serta mampu mengurangi parktik-praktik KKN melalui re-biroktatiasi BUMN Perkebunan kearah transparansi dan dapat dipertangungjawabkan;
- Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, sebagai pilar utama dalam menjalankan program dan aktivitas bisnis dan pemberdayaan masyarakat, melalui transformasi informasi dan teknologi secara langsung dan transparan kepada stakeholder BUMN Perkebunan dan secara terpusat pada keahlian yang memerlukan spesifikasi tertentu.
Upaya revitalisasi BUMN Perkebunan adalah upaya
perubahan yang menyeluruh dan terencana secara bertahap. Diawali dengan
komitmen yang tegas terhadap usaha perbaikan oleh para pihak yang telibat
didalamnya. Sehingga akan tercipta BUMN yang sinergis dengan program pemerintah
dan mampu eksis mengahadapi era
globalisasi dan pasar bebas.
PUSTAKA
- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya
- Undang-Undang Nomor 19 Tahgun 2003 Tentang BUMN
- Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia Tahun 2005.
- Anonim. 2005.Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2006. Departemen Pertanian. Jakarta.
- ______. 2005. Peran Pertanian, Kelautan-Perikanan dan Kehutanan Dalam Perekonomian Nasional. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
- Mangunjaya, Fachruddin.M. 2005.Konservasi Alam Dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
- Sa’id, E.Gumbira dan Yayuk Eka Prastiwi. 2005. Agribisnis Syariah Manajemen Agribisnis Dalam Prespektif Syariah Islam. Penebar Swadaya. Jakarta.
- Sumarjo, Jaka Sulaksana dan Wahyu Aris Darmono. 2004. Teori dan Praktek Kemitraan Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.
- Jamasy, Owin.et al (ed.). 2001. Pembangunan Pertanian Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa. Bina Swadaya. Jakarta.
- Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Makalah Konperensi Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Waligereja Indonesia Yogyakarta 12 September 2002, Artikel –TH.II-No.03-Mei 2003.Jakarta.
[1] Departemen
Pertanian, Rencana Pembangunan Pertanian 2006, Jakarta-Juli
2005.
[2] Sawit,
H.Husein, 2003, dalam “Kegagalan
Perundingan Pertanian WTO di Cancun :
Peluang atau Ancaman buat Ekonomi Rakyat”, Artikel Th.II.No. 8- November
2003.
[3] Pakpahan,
Agus.,2004
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Jamasy,
Owin., 2001. dalam Pembangunan Pertanian
Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa, hal 6-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar