Senin, 07 Mei 2012

Revitalisasi Sektor Perkebunan Menghadapi Era Globalisasi dan Pasar Bebas

I. PENDAHULUAN

 Strategi Pembangunan Pertanian Nasional

Bidang Pertanian dan Perkebunan merupakan bidang yang menghasilkan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat produk pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Seperti diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menegaskan landasan folisofi yang terkait dengan segala aktivitas berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahwa bumi, air dan segala yang berada didalamnya merupalan pemberian Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat Indonesia sebagai anugerah sekaligus amanah untuk dimanfaatkan  bagi sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat, saat ini dan dimasa yang akan datang (fungsi kelestarian sumberdaya).

Dalam kerangka amanah dan pemanfataan sumberdaya pembangunan bangsa Indonesia, pemerintah menerapkan agenda pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) yang berazaz pro-growth, pro-employment, pro-poor. [1] Pelaksanaan ketiga konsep tersebut dirancang melalui :
Peningkatan pertumbuhan ekonomi diatas 6,5 % per tahun melalui percepatan investasi dan eksport;
Pembenahan sektor riil agar mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru;
Revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan agar mampu berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

Arah pembangunan sektor pertanian dan perkebunan secara umum  adalah upayapemulihan kembali  perekonomian nasional melalui upaya terobosan dengan merevitasliasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada saat ini, serta menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Pertumbuhan ekonomi baru tersebut diharapkan berbasis pada keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang diolah menjadi keunggulan kompetitif dalam percaturan dunia. Aras perubahan paradigma pembangunan sektor agro melalui pendekatan  "resource based economy" dan "knowledge based economy" merupakan landasan penting dalam pembangunan yang perlu didukung dan diterjemahkan dalam bentuk yang aplikatif dilapangan. Terutama untuk mengoptimalkan sumber daya ekonomi yang sudah ada dan mengintergrasikan dengan inovasi perkembangan ilmu pengetahuan baru untuk mendapatkan sumber daya ekonomi baru.

Revitalisasi terhadap sumberdaya ekonomi sektor agro yang sudah ada, merupakan salah satu langkah penting yang feasible dan harus didukung semua pihak,  karena upaya revitalisasi semua sektor akan mampu mempercepat pemulihan ekonomi mayarakat yang saat ini sedang mengalami penurunan.

Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali dan membangun komitmen tentang arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual; dalam arti menyegarkan kembali vitalitas; memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. (Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2006, Departemen Pertanian 2005)


Kondisi Aktual dan Permasalahan

Sektor Pertanian merupakan sektor yang sangat mendasar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, maka Indonesia adalah Negara agraris bukan sebutan yang tanpa dasar. Sebagai Negara agraris, tentu membuktikan bahwa sektor pengaman ekonomi riil bangsa Indonesia terletak di sektor ini. Sekilas dapat digambarkan kontribusi sektor pertanian adalah sebagai berikut :

Tabel 1 : Kontribusi Sektor Pertanian
Sektor
PDB (%)
Ekspor Non Migas (%)
Penyerapan Tenaga Kerja (juta Naker)
Th 2000
Th 2003
Th 2000
Th 2003
Th 2004
Th 2004
Pertanian
15.6
15
5.67
5.33
5.73
34.97
Kelautan dan Perikanan
2.3
2.5
3.51
3.47
-
3.37
Kehutanan
1.6
1.5
-
-
-
2.3









Sumber : Peran Pertanian, Kelautan-Perikanan dan Kehutanan dalam Perekonomian Nasional, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR-RI, Juni 2005.

Pertumbuhan sektor pertanian Indonesia turun 2,3%/tahun, sub-sektor pangan merosot 0,5 %/tahun. Padahal sub-sektor ini memegang peran sekitar 60% GDP pertanian atau sekitar 8% GDP sub-sektor tanaman pangan. Sejak 1994, Indonesia beralih dari negara  net food exporter berubah menjadi net food importer. Pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan (net importer) sekitar US$ 863 juta/tahun, padahal periode 1989-91, Indonesia mengekspor pangan (net exporter) sekitar US$ 418 juta/tahun.[2]

Memang harus diakui sektor pertanian merupakkan tulang punggung perekonomian bangsa yang mampu menyediakan bahan makanan atau bahan baku bagi industri-industri pengelolaan. Kontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja di bidang ini sangat signifikan. Selama kurun waktu 1969 – 2004 dapat dikatakan kontribusi sektor agrobisnis mengalami penurunan cukup tajam. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tentu faktor dari kinerja pelaku –pelaku bidang agribisnis yang semakin menurun seiring semakin tidak berimbangnya faktor produksi lainnya seperti ; kondisi lahan dan lingkungan, kondisi social budaya, tingkat SDM yang masih rendah dan tidak berimbangnya pemerataan sehingga kemampuan komparatif sumberdaya rakyat dan bangsa Indonesia tidak mampu di tingkatkan menjadi kemampuan kompetitif. 
Keterangan : Hanya sampai pada triwulan I tahun 2004
Sumber : BPS, 2004 (dalam Sa’id, E.Gumbira et al.2005)
Gambar 1 : Kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDB Indonesia Tahun 1969-2004

Dalam bidang subsektor perkebunan, Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk menjadi produsen dan sekaligus eksportir komuditas perkebunan. Namun potensi tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal.

Tabel 2 : Pertumbuhan Ekspor Produk-Produk Perkebunan Indonesia
Aspek
Nilai
Karet *
Minyak Sawit *
Kopi *
Kakao**
Teh ***
Pertumbuhan eksport
-0.417
-0.202
-0.449
0.379
-0.259
Pertumbuhan dunia (standar)
0.050
-0.280
-0.196
0.007
0.029
Pengaruh komposisi Produk
-0.264
2.000
0.196
-0.016
-0.032
Pengaruh distribusi pasar
-0.113
-2.076
-0.243
0.045
-0.045
Pengaruh persaingan
-0.089
0.154
-0.205
0.277
-0.211
Keterangan
*
Tahun 1996-2000



**
Tahun 1995-1999



***
Tahun 1997-2001


Sumber : Gumbira-Sa'id et al.,20004 dalam Agribisnis, Syariah Sa'id,.E.Gumbira dan Yayuk Eka Prastiwi, 2005


Dibalik potensi yang sangat besar, sektor pertanian dan khususnya subsektor perkebunan masih banyak menemui kendala, antara lain :
Rendahnya tingkat kesejahteraan pelaku (petani) sebagai pihak yang paling dasar dan pelaku langsung kegiatan usaha pertanian/perkebunan. Tingginya tingkat ketergantungan terhadap beras dan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga sebagian besar rakyat Indonesia, Rendahnya produktivitas dari sektor ini serta masih rendahnya inovasi dan pemahaman teknologi tepat guna yang dapat diterapkan untuk meningkatkan nilai barang dan jasa.

Setelah melihat potret / kondisi bidang pertanian tersebut, pemerintah berusaha untuk mengambil langkah strategis jangka panjang dengan menerapkan sendi-sendi kebijakan pembangunan berjangka dibidang pertanian, kelautan dan perikanan serta kehutanan yang terangkum dalam Peraturan Presiden republik Indonesa Nomor 7 Tahun 2005 tentang  Rencana pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2005. Secara umum kebijakan RPJM yang telah dirumuskan antara lain :
  • Peningkatan kemampuan petani dan nelayan serta pelaku pertanian, kelautan dan perikanan dan kehutanan serta penguatan lembaga pendukungnya: (i) Revitalisasi penyuluhan dan pendampingan, (ii) Menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian dan perdesaan, dan (iii) Meningkatkan kemampuan SDM pertanian.
  • Peningkatan ketahanan pangan yang mengarah pada (i) Swasembada dengan peningkatan produktivitas penanaman dan pengendalian konversi lahan dan Peningkatan jaringan jalan, irigasi dan permodalan pertanian; (ii) Diversifikasi pangan; (iii) Peningkatan ketersediaan dan konsumsi protein; (iv) Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan pencegahan serta penanggulangan masalah (gangguan ketahanan) pangan.
  • Peningkatan produktivitas, produksi daya saing dan nilai tambah hasil pertanian, perikanan dan kehutanan, dengan; (i) Memfokuskan pada sub sektor/usaha yang memiliki 'sejarah' dan prospek pertumbuhan tinggi sehingga meningkatkan pendapatan petani; (ii) Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan terpadu dengan konsep pengembangan agribinis sehingga terjadi Peningkatan skala ekonomi, efisiensi dan mendukung perekonomian perdesaan dan daerah; (iii) Meningkatkan dukungan dan insentif untuk meningkatkan pasca panen dan pengolahan, standard mutu dan keamanan produk, serta memberikan perlindungan terhadap petani dari persaingan yang tidak sehat; (iv) Mengembangkan sistem pemasaran dan manajemen usaha untuk mengelola resiko usaha.

Sudah saatnya keberpihakan kebijakan pemerintah melalui program –program revitalisasinya menjadi salah satu stimulan bagi pelaku pertanian dan perkebunan Indonesia untuk kemudian dijadikan pedoman dan ditindak lanjuti dalam usaha pembangunan di sektor agro berbagai bidang, pelaku dan lokasi sesuai dengan kondisi setempat.

II. BUMN PERKEBUNAN


Diantara banyak pelaku yang bergerak di bidang pertanian khususnya perkebunan, BUMN perkebunan adalah salah satu stake holder yang relative dominant bila dibanding BUMS. Keberadaan BUMN perkebunan sebenarnya merupakan wujud keberpihakan pemerintah dalam menata, melindungi dan meningkatkan peran sektor ini dalam pembangunan nasional. Keberadaan BUMN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19/2003 tentang BUMN dan dilengkapi dengan aturan pelaksananya seperti ; Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tentang tata cara privatisasi perusahaan perseroan (persero); Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 tentang penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan perubahan bentuk badan hukum BUMN; Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 tentang tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada BUMN dan PT; Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 tentang pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran BUMN. Berbagai aturan tersebut selain untuk menempatkan eksistensi BUMN sebagai perangkat Negara juga untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan/perubahan kebijakanan pemerintahan seperti adanya UU Otonomi Daerah.

Kontribusi BUMN ke daerah cukup signifikan karena BUMN adalah objek dan subjek  pajak pusat dan dikembalikan ke daerah dalam bentuk DAU. Sesuai dengan peraturan yang berlaku,  pajak-pajak dan Deviden dari perolehan laba bersih BUMN di setor ke Kas Negara yang kemudian dikembalikan ke Pemerintah Daerah dalam bentuk DAU. Selain itu, BUMN diwajibkan membayar pajak di daerah yang meliputi PBB, kenderaan bermotor dan retribusi lainnya yang diterima langsung Pemerintah Daerah.

Selan itu kebijakan tentang BUMN adalah untuk mengoptimalkan efisiensi BUMN di daerah agar pemerintah sebagai Regulator  menciptakan keamanan usaha yang kondusif. Upaya lainnya agar semua pihak mengurangi pungutan-pungutan sehingga kinerja dan laba BUMN meningkat yang pada gilirannya  meningkatkan kontribusi BUMN ke daerah dalam bentuk DAU, pajak dan retribusi  daerah serta memperluas lapangan kerja dan Multiplier Effect lainnya.

Berbagai payung kebijakan yang telah di keluarkan pemerintah sebenarnya mengandung makna bahwa masih perlunya peningkatan kinerja dan kontribusi dari BUMN khususnya perkebunan dalam pembangunan nasional dalam ekskalasi yang lebih luas. Berbagai usaha dan upaya sedang dilakukan saat ini, seperti adanya usaha penggabungan beberapa BUMN yang dipandang tidak produktif atau kontra produktif dalam pencapaian tujuannya. Padahal disatu sisi BUMN merupakan ujung tombak dari pemulihan ekonomi nasional. Dengan adanya  Undang-Undang Nomor 19/2033 tentang BUMN masih mengatur BUMN sebagai sebuah lembaga ekonomi negara dan tentunya masih belum cukup untuk dapat memayungi aktivitas dalam bidang khusus perkebunan mengingat masalah dan tantangannya sangat berbeda dengan sektor lainnya.

Dalam BUMN Summit yang berlangsung di Jakarta 26-27 Januari tahun 2005, Menneg BUMN Sugiharto mengatakan, pemerintah akan menggabung sejumlah BUMN Pupuk dan BUMN Perkebunan masing-masing dalam bentuk induk perusahaan (holding) guna meningkatkan produktivitas, dan pendapatan. Diskursus penggabungan masing-masing BUMN tersebut merupakan suatu kebutuhan guna menciptakan sinergi baru, dalam rangka program revitalisasi BUMN yang diterapkan pemerintah pada masa 2005-2009. diperkirakan sebanyak 54 BUMN akan digabung menjadi 21 perusahaan, dan sisanya akan dipertahankan menjadi perusahaan sendiri dan akan disatukan dalam sepuluh perusahaan induk.

Reformasi Struktural dan Kultural di BUMN perkebunan, merupakan prasyarakat pokok dan penting untuk meningkatkan performanya dalam mengemban tanggugjawab sebagai lembaga Negara yang mempunyai keberpihakan dalam membangun sektor perkebunan yang siap dan mampu eksis dan bersaing di era globalisasi dan pasar bebas.

 

III. SINTESA PEMIKIRAN

Dalam rangka meningkatkan performa pembangunan sektor pertanian (khususnya subsektor perkebunan) yang selaras dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu Peningkatan Kesejahteraan  Masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, mengurangi pengangguran, meningkatkan daya saing, membangun ketahanan pangan, membangun perdesaan, membangun daerah dan mengurangi ketimpangan antar wilayah dan melestarikan mutu lingkungan hidup,  diperlukan visi dan misi yang jelas dan mampu memberi kontribusi kuat terhadap komitmen terhadap langkah-langkah operasional para pihak (stake holder) dalam memaknai “arti penting” sektor agro secara proporsional, kontekstual dan komprehensif sebagai bagian dari Sistem Pembangunan dan Pemberdayaan Nasional.

Pemahaman terhadap kondisi sektor agro nasional akan memberi gambaran yang tepat terhadap keberadaan masing-masing sektor dalam konteks pembangunan nasional. Harapannya adalah dapat memberikan variasi pilihan metode  yang dapat berbeda antara sektor yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan spesifikasi kontens lokasi, sumberdaya, teknologi, sosial budaya dan kelembagaan.
Secara garis besar arah revitalisasi pertanian yang diharapkan mampu dipenuhi meliputi :
  • Arah masa depan petani berkaitan dengan: (a) Akses petani terhadap layanan dan sumberdaya produktif; (b) Perlindungan petani dalam melakukan aktivitas usaha pertanian; (c) Peningkatan kemampuan dan keberdayaan petani untuk mengembangkan aktivitas usaha pertanian yang dilakukannya; dan (d) Peningkatan pendidikan, status gizi dan ketahanan pangan petani serta kesetaraan gender yang baik.
  • Arah masa depan usaha pertanian berkaitan dengan: (a) Perlindungan dan kepastian hukum terhadap kegiatan usaha pertanian; (b) Lingkungan usaha yang mendukung usaha pertanian terutama berbagai peraturan terkait yang dapat meningkatkan daya saing dan produktivitas usaha; dan (c) Akses terhadap dukungan pembiayaan, informasi dan teknologi yang aktual dan sesuai dengan perkembangan usaha dan dinamika bisnis.
  • Arah masa depan produk dan bisnis pertanian berkaitan dengan perannya dalam: (a) Membangun ketahanan pangan masyarakat yang terkait dengan aspek-aspek: pasokan produksi, pendapatan, keterjangkauan dan kemandirian; (b) Sumber pendapatan devisa yang terkait dengan keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar internasional; (c) Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru yang terkait dengan peluang peningkatan usaha baru; dan (d) Pengembangan produk baru yang terkait dengan isu global dan pengembangan ke depan.


Bentuk revitaliasi tetap mengacu dan berkaitan dengan arah masa depan petani/masyarakat disekitar kawasan dan Indonesia pada umumnya dengan mengembalikan ideology pertanian sebagai basis kesejahteraan rakyat bukan asas bisnis pertanian rakyat. Pemahamannya adalah sebagai berikut, bahwa kehidupan pertanian berbasis lahan bagi petani/pelaku mayarakat di Indonesia bukan merupakan produk system bisnis, tapi adalah produk budaya sebagai mayarakat agraris yangtelah dilakukan sejak turun temurun. Jadi pemahaman terhadap budaya bertani bukan budaya bisnis seperti yang digambarkan oleh banyak pihak dengan mengambil potret petani sebagai pelaku bisnis yang banyak berkembang di Negara yang sudah maju.

Dalam konteks pemikiran ini peningkatan kesejahteraan masyarakat petani menjadi sebuah proses jangka panjang dan merupakan proses evolusi perubahan paradigma yang tidak semerta-merta di ukur melalui indikator ekonomi. Peran BUMN Perkebunan tidak hanya mengelola faktor produksi (SDM dan Lahan Pertanian) namun juga diharapkan mampu memberikan fasilitasi dan perlindungan terhadap pertanian sebagai budaya dari ancaman globalisasi berupa komersialisasi yang hanya menekankan kepada pemanfataan faktor produksi yang murah untuk mendapatkan nilai keuntungan yang besar. Hal ini lah yang selalu menjadi keunggulan bangsa Indonesia, namun secepatnya harus dirubah menjadi keunggulan kompetitif dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Aras masa depan pelaku usaha bidang pertanian (agrobisnis), hal ini yang menjadi salah satu kunci keberhasilan sektor agro dalam peningkatan persaingan produksi barang dan jasa. Aras ini mengandung makna penguatan kelembagaan sebagai fungsi ekonomi produksi. Lembaga pelaku bisnis di subsektor perkebunan hendaknya menjelma menjadi lembaga ekonomi yang efisien dan produktif dengan meningkatkan nilai produksi dan jasa melalui adopsi ilmu dan teknologi yang sudah berkembang dan mampu menjadikan keunggulan budaya, lahan dan jenis produk (keunggulan komparatif) yang sudah ada menjadi keunggulan kompetitif dalam bidang teknologi.  BUMN sebagai aktor ekonomi hendaknya menjelma menjadi lembaga ekonomi yang terbebas dari segala bentuk interfensi (terutama politik kekuasaan), dengan adanya aturan main yang jelas (peraturan perundangan) diharapkan akan menghindari kinerja BUMN sebagai mesin pendukung politik kekuasaan. Adanya keberpihakan Negara dan iklim usaha yang kondusif akan membawa BUMN menjadi lebih professional dalam melakukan fungsi dan tugasnya.

Aras masa depan produk dan bisnis pertanian khususnya subsektor perkebunan, revitalisasi BUMN Perkebunan dalan koridor ini masih sangat kompleks dan dalam proses perdebatan. Harapan utama segara dibuatnya aturan khusus mengenai perkebunan, sehingga fungsi untuk mendapatkan devisa dapat tercapai namun eksistensi masyarakat petani yang berfungsi sebagai pilar pembangunan tidak termarginalkan. Kepatian hukum dan legalitas masih menjadi pekerjaan rumah yang harus secepatnya terselesaikan sehingga tidak menggaggu proses pengembangan / inovasi pengembangan produk perkebunan sebagai buah hasil akhir adanya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan daya kompetensi BUMN Perkebunan dalam menghadapi era globalisasi dan pasar bebas.




IV. TANTANGAN DAN PELUANG


Tantangan

  1. Dunia perkebunan menghadapi tantangan sangat berat, yaitu tren harga riil produk-produk primer seperti perkebunan yang terus menurun. Sebagai ilustrasi indeks harga riil produk primer pada tahun 1870 adalah 120, tahun 1990 menjadi 60. Apabila diasumsikan tren ini berlanjut, pada 2090 nilainya menjadi nol. Hal sebaliknya terjadi pada produk olahannya.
  2. Permasalahan lainnya adalah meningkatnya kelangkaan sumber daya lahan akibat peningkatan penduduk yang sangat cepat. Pada tahun 2020 diperkirakan penduduk Indonesia lebih dari ± 270 juta jiwa, meningkat lebih dari 60 juta jiwa dari sekarang.
  3. Permasalahan kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan, dan menanggung jumlah pengangguran yang sangat besar, serta kerusakan lingkungan hidup yang parah.
  4. Dalam upaya mempercepat dan mempertajam visi pengembangan dan aplikasi teknologi, perlu ditingkatkan lagi penelitian dan pengembangan. Berdasarkan hasil penelitian LIPI tahun 1996, kontribusi penelitian dan pengembangan kita terhadap PDB paling kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Seperti Jepang kontribusi Litbangnya adalah 2,8 % terhadap PDB. Kemudian Korea Selatan 2,2 %, Taiwan 1,7 %, Singapura 1,3 %, Cina 0,7 %, sedangkan Indonesia hanya 0,16 %. 
  5. Diversifikasi produk perkebunan masih sangat terbatas, sampai saat ini masih didominasi oleh produk-produk minyak sawit, karet, kakao, kopi dan tembakau.
  6. Pangsa Ekspor Agroindustri rata-rata masih dibawah ± 10 %, walaupun ada peningkatan nilaieksport komuditas hanya didominasi jenis tertentu.

Peluang

Sebagai negara agraris yang besar dengan potensi sumber daya alam yang beragam, Indonesia mempunyai berbagai peluang untuk mencapai tujuan pengembangan sektor perkebunan secara berkelanjutan sebagai berikut :
  • Keragaman sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang besar yang dapat dimanfaatkan melalui pemanfaatan dan pengembangan produk .
  • Perkembangan teknologi yang pesat dalam berbagai aspek ; produksi, pasca panen dan pengolahan, distribusi, pemasaran  untuk meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas dan efisiensi.
  • Perubahan manajemen pembangunan dan pemerintah kearah desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang memudahkan pencapaian kemandirian  produksi dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.

V. Tinjauan Strategi BUMN Perkebunan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh BUMN Perkebunan dalam menapak era-globalisasi dan pasar bebas dapat di tinjau dari  beberapa aspek, yaitu : 1) Sejarah Perkebunan di Indonesia, 2) Pemberdayaan Masyarakat, 3) Kelembagaan dan Manajemen, 4) Kualitas  Sumberdaya Manusia, 5) Sistem Pengawasan.

Sejarah Perkebunan Indonesia

Dengan melihat sejarah perkebunan, mungkin kita akan mendapatkan gambaran potensi dan perjalanan panjang pengelolaan perkebunan di Indonesia. Tinjauan kesejarahan diharapkan mampu memberi batasan-batasan substansial terhadap budaya dan potret kehidupan masyarakat yang terlibat didalamnya. Sejarah mencatat bahwa adanya penjajahan di Indonesia dikarenakan hasil bumi yang melimpah dan berkualitas sehingga melalui transaksi perdagangan antara pedagang asing dengan kaum pribumi memunculkan jaringan perdagangan yang kita kenal dengan sebutan VOC (Verenidge Oostindische Compagnie). Hegemoni penjajahan mulai terbentuk dengan munculnya tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda.

Agrarisch Wet 1870 merupakan cikal bakal perusahaan perkebunan besar yang roh dan jiwanya hingga sekarang masih hidup, sebagaimana dapat dilihat dalam struktur ekonomi dualistik. Dalam struktur ini kehidupan perusahaan besar yang dicirikan oleh manajemen dan organisasi modern berdampingan dengan perkebunan rakyat yang dilaksanakan oleh para pekebun kecil yang sederhana dan "tradisional".[3]

Sekitar 100 tahun setelah Agrarisch Wet 1870, yaitu tahun 1970-an, pemerintah mulai mengembangkan perkebunan besar badan usaha milik negara (BUMN) dengan menggunakan pinjaman luar negeri. Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dikembangkan. Pada 1980-1990-an awal perusahaan besar swasta mulai masuk perkebunan, didukung oleh Program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN).[4]

Peran pemerintah dalam mendorong perkebunan besar ini, baik BUMN maupun swasta sangat besar, sebagaimana dapat dilihat dalam perkembangan luas areal. Luas areal kelapa sawit milik BUMN dan swasta pada 1968 masing-masing hanyalah 79 ribu dan 41 ribu hektar. Tahun 2002 luas areal perkebunan milik BUMN dan swasta masing-masing menjadi 545 ribu dan 2,3 juta hektar.[5] Dengan berakhirnya dukungan pembiayaan untuk investasi di bidang perkebunan, percepatan investasi terlihat menurun.

Akibat dari stimulan yang telah dilakukan pemerintah terhadap perkebunan besar ternyata berdampak pula pada berkembangnya perkebunan rakyat secara mandiri. Perkembangan ini dipicu karena pemerintah mampu memberikan iklim yang baik dan adanya prioritas program pengembangan perkebunan di daerah-daerah.

Kemajuan perkebunan yang sangat pesat, khususnya kelapa sawit, tidak dapat dimungkiri berkat dorongan pemerintah dengan segala perangkat kebijaksanaannya, mulai dari lahan perkebunan hingga pembiayaannya yang disubsidi. Dengan jumlah pengangguran yang sangat besar, prasarana dan sarana yang tertinggal di daerah pedesaan, kemiskinan dan kesenjangan sosial, serta kerusakan lingkungan hidup, yang semua itu tidak dapat diselesaikan oleh mekanisme pasar (persaingan), pemerintah perlu mengambil inisiatif dalam mengatasi hal ini.

Diperlukan sikap yang lebih bijaksana bagi pemerintah dan pelaku perkebunan melalui resolusi terhadap konflik sumberdaya dan peran antara pelaku bisnis perkebunan yang sudah ada dengan masyarakat atau lembaga rakyat yang ada disekitar kawasan.  Benang merah yang harus dipegang oleh para pengambil kebijakan adalah bahwa persoalan perkebunan yang dalam sejarahnya selalu berakhir dengan marginalisasi petani / masyarakat sekitar bukan semata-mata persoalan pasar (suplai dan kebutuhan) namun lebih kepada persoalan budaya berkebun dan keberpihakan terhadap petani/organsisasi lokal sebagai patner kerja yang setara dan berimbang.

Pemberdayaan Masyarakat

Amanat terhadap pemberdayaan masyarakat mengandung makna bahwa BUMN Perkebunan dalam menjalankan usaha harus mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan terhadap petani/ masyarakat yang ada disekitarnya dengan cara pelibatan masyarakat sebagai komponen produksi yang tidak terpisahkan dan sebagai sasaran utama. Komponen produksi yang dimaksud bukan hanya melihat masyarakat sebagai individu dalam penyerapan tenaga kerja, namun memasukkan masyarakat sebagai satuan komunitas yang memiliki tata nilai dan budaya dengan cara penguatan terhadap kelembagaan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial budaya.

Kunci sukes dari pembangunan dan pemberdayaan masyarakat bukan hanya terletak pada keserasian  kerjasama antara seluruh unsure stakeholder, melainkan pada paradigma baru pemberdayaan yang benar-benar mampu mengisi kepentingan era Indonesia menghadapi globalisasi dan pasar bebas, yang rumusannya banyak menyikapi tuntutan perkembangan ke depan yang lebih humanistik. Semua itu bertumpu pada keyakinan bahwa masyarakat mempunyai modal sosial serta berkemampuan untuk mendayagunakan seluruh potensinya.

Untuk mendukung upaya pemberdayaan tersebut diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pemberdayaan dalam pengembangan BUMN perkebunan yaitu : debirokratisasi, partisipasi, privatisasi, transparansi, akuntabilitas, desentralisasi, pemberdayaan yang bertumpu pada penguatan kapasitas local, meningkatkan aspirasi hidup, program yang berskala besar (multi sektoral, multi fungsi dan muti pelaku), program yang integralistik (menyeluruh), melibatkan perempuan (bebas jender) dan pemanfaatan organisasi lokal.[6] Namun dalam implementasinya perlu disikapi secara kritis, karena peran dan fungsi BUMN Perkebunan sangatlah kompleks sebagai sumber devisa, agen pembangunan pemerintah, katalisator pengembangan usaha pertanian (agribisnis) sekaligus fungsi perlindungan dan keberpihakan kepada masyarakat (Negara).

Komitmen diri bagi pelaku pemberdayaan danpembangunan sangat penting dan menjadi syarat pokok dalam menjalankan prinsip-prinsip pemberdayaan diatas. Sebaik apapun program revitalisasi BUMN dan pemberdaya masyarakat, tanpa disertai dengan komitmen, etika dan moral, maka semua akan sia-sia dan sepanjang itu pula permasalahan akan selalu ada. Kegagalan yang selama ini ditemui dalam program-program pemberdayaan adalah hilangnya “Etika Pemberdayaan” bagi pelaku pemberdayaan dan pembangunan.

Kelembagaan dan  Manajemen

Keberhasilan dan kegagalan pembangunan perkebunan dipengaruhi oleh efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen pembangunan yang meliputi aspek perencanan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta koordinasi berbagai kebijakan dan program. Masalah yang dihadapi dalam aspek manajemen adalah:
  1. Terbatasnya  ketersediaan data yang akurat, konsisten, dipercaya dan mudah diakses yang diperlukan untuk perencanaan pengembangan perkebunan;
  2. Belum adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan masyarakat kecil di bidang perkebunan (BUMN bukan sekedar funsi dan peran sebagai badan usaha Negara semata namun masih diperlukan perangkat hukum yang melingkupi aktivitas perkebunan yang kompleks dan mempunyai sejarah panjang di Indonesia);
  3. Lemahnya koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam lingkup instansi dan antar instansi, subsektor, sektor, lembaga pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah dan antar daerah. Hal ini berpengaruh terhadap pola keterpaduan model pengusahaan dan pengelolaan perkebunan sebagai sebuah bangunan system agribisnis yang multi pihak.


Sumber : Sumarjo,. et al, 2004
Gambar 2  : Keterkaitan antar lembaga pengembangan system agribisnis

Salah satu model keterpaduan kelembagaan pendukung system agribisnis seperti dalam gambar,  dapat memberi penjelasan bahwa diperlukan bentuk keterpaduan antar pihak yang sebelumnya telah dikondisikan dengan baik dan disertai komitmen tentang peran masing-masing lembaga.

Penguatan kapasitas kelembagaan sangat erat kaitannya dengan aspek manajemen. Untuk menunjang visi dan misi yang telah ditetapkan, kapasitas kelembagaan BUMN Perkebunan harus ditingkatkan. Dalam rangka proses pemberdayaan petani dan lembaga lokal, kelembagaan BUMN perlu melakukan kerjasama dengan lembaga/pihak lain, khususnya lembaga-lembaga lokal dimana BUMN tersebut melakukan aktivitasnya. Kelembagaan lokal yang dimaksud bukan kelembagaan instan yang dibentuk pemenuhan proyek, namun lembaga yang sudah mempunyai nilai-nilai atau norma-norma tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.  Dengan demikian peningkatan kelembagaan ditingkat lokal akan sinergis dengan aspek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat petani setempat (sebagai individu petani maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat).

Dalam upaya peningkatan kapasitas kelembagaan BUMN, sebaiknya menggunakan fasilitator publik yang secara langsung tidak mempunyai nilai kepentingan terhadap aktivitas usaha perkebunan yang dilakukan oleh BUMN. Sehingga diharapkan dapat menghindari adanya parkatik-praktik KKN yang selama ini selalu melekat dan menjadi icon BUMN. Peningkatan kapasitas kelembagaan dilakukan melalui 2 aras, yaitu aras horisontal dan aras vertikal.  Aras horisontal yaitu pengembangan jaringan kerjasama dengan lembaga yang levelnya sama dan mampu mendukung usaha produksi yang diemban BUMN Perkebunan sebagai lembaga ekonomi pemerintah. Sedangakan aras vertikal dilakukan terhadap lembaga-lembaga yang cakupan kegiatannya lebih luas dan atau posisinya lebih tinggi. Jaringan semacam ini sangat penting, terutama agar pelayanan yang diberikan oleh BUMN Perkebunan dapat terus berkembang, selalu aktual sesuai dengan perkembangan masyarakat baik secara ekonomi-pasar maupun dinamika sosial-kultural. Jaringan yang luas akan membuka cakrawala pemikiran-pemikiran baru, sehingga alternatif solusi yang dihadapi BUMN Perkebunan untuk ekspansi pasar maupun produksi dalkam bentuk baru yang lebih efektif dan efisien.

Kualitas Sumberdaya Manusia

Kualitas sumberdaya manusia adalah aset yang sangat berharga, oleh karena itu setiap program-program revitalisasi perkebunan harus didukung oleh ketersediaan SDM yang cukup dan kompeten. Dalam rangka peningkatan SDM dapat dilakukan melalui upaya-upaya pelatihan yang diantaranya dapat dilakukan melalui metode a dispersed approach yaitu pendekatan yang memungkinkan  semua stakeholder BUMN Perkebunan mampu mengenal inovasi baru (informasi dan teknologi) yang dintroduksi oleh lembaga-lembaga riset dan pengembangan (lembaga penelitian). Sedangkan pendekatan yang sudah lajim diterapkan adalah melalui metode a concentrated approach yaitu pendekatan terpusat dan struktural yang biasa kita kenal dengan munculnya pusat-pusat pelatihan. Namun hal ini perlu dicermati kembali karena banyak mengeluarkan biaya (inefisien) dan kadang tidak signifikan dengan hasil yang diharapkan. Pendekatan a concentrated approach dapat dilakukan terutama pada bentuk-bentuk peningakatan kapasitas manusia yang lebih spesifik.

Upaya peningkatan kualitas sumberdaya tidak hanya menekankan kepada kemampuan dan keahlian, namun perlu juga dilakukan pembinaan terhadap pola pikir atau reorientasi yang selama ini lebih didominasi pada pola birokrasi yang bekerja semata-mata demi penghasilan (uang) dan rejim yang sedang berkuasa. Perlu perubahan kearah pekerjaan untuk memenuhi kesejahteraan client, dengan harapan kehadiran BUMN Perkebunan selalu eksis dimata stakeholder-nya, baik masyarakat petani, masyarakat umum serta konsumen sebagai prasyarat membangun keunggulan kompetitif dipasar global.

Sistem Pengawasan

Kesan BUMN Perkebunan yang lamban, birokrastis, sarang KKN dan merupakan produk politik kekuasaan perlu di kikis dengan menerapkan sistem pengawasan yang baik, independen dan penuh dengan komitmen terhadap pemberantan KKN. Pembenahan terhadap sistem pengawasan menjadi salah satu proses revitalisasi menuju BUMN yang produktif, efisien dan kompetitif, sektor pengawasan diharapkan akan mengurangi dampak biaya ekonomi tinggi yang selama ini menjadi kendala akut di badan usaha ekonomi negara ini. Syarat pengawasan yang efektif dan efisien adalah adanya transparansi, namun untuk memenuhi syarat tersebut bukan hal yang mudah, oleh karena itu sistem pengawasan dibenahi sambil berevolusi kearah pertanggung jawaban terhadap publik.

Sistem pengawasan dapat dimulai dengan 2 pendekatan, yaitu : pengawasan internal dan pengawasan publik. Pengawasan internal lebih menekankan kepada upaya pengawasan proses dan aktivitas produksi BUMN Perkebunan dalam memenuhi tujuannya sesuai dengan aturan, nilai dan perangkat hukum yang melekat sebagai badan usaha milik negara. Yang menjadi hak kritis dalam pengawasan internal adalah penentuan atribut pengawasan. Penentuan atribut pengawasan harus mempertimbangkan efektifitas dan bias dari perangkat pengawasannya, untuk menghindari adanya informasi yang tidak akurat sebaiknya atribut pengawasan di tentukan berdasarkan proses semua kegiatan dari perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pengawasan. Penentuan dan uraian terhadap atribut pengawasan sebaiknya dilakukan oleh pihak ke-3 yang terlepas dari bias kepentingan internal BUMN.

Pengawasan publik dapat diartikan sebagai bentuk mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh lembaga publik seperti yang sudah dilakukan saat ini. Namun hal yeng perlu di kembangkan adalah bentuk komunikasi publik sehingga lembaga BUMN dapat berkomunikasi secara bebas dan terbuka dengan konstituennya berkaitan dengan aktivitas dan program yang dilaksanakan. Membuka ruang komunikasi publik adalah cara yang efektif untuk mengetahui dengan cepat mengenai dampak ativitas maupun masukan yang berasal dari publik terhadap adanya indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan perangkat BUMN dalam melaksanakan aktivitasnya.  Kanalisasi informasi publik merupakan awal yang baik untuk mengembangkan budaya transparansi, dengan harapan icon BUMN yang selama ini negatif dapat dikurangi melalui terobosan-terobosan sistem pengawasan yang efektif.



VI. PENUTUP


Dengan memperhatikan Pedoman Revitaliasi Pertanian, Pedoman Revitalisasi BUMN dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, maka kebijakan dan program yang akan ditempuh dalam membangun BUMN Perkebunan yang produktif, efisien dan kompetitif dengan mengoptimalkan sumberdaya yang sudah ada. Prinsip keseimbangan dalam menjalankan aktivitas baik ditinjau dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan, adalah keniscayaan BUMN Perkebunan akan siap dan mampu berkompetisi dalam era globalisasi dan  pasar bebas. Secara garis besar kebijakan dan program yang harus dioptimalkan meliputi :
  • Intensifikasi perkebunan, mengotimalkan luas lahan perkebunan yang sudah ada melalui adaptasi pengebangan ilmu dan teknologi, sehingga dapat diterapkan dengan tetap menjaga kesimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan;
  • Diversifikasi produk perkebunan, indikator peningkatan nilai tidak dibarengi dengan penguasaan pangsa produk, Indonesia mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang tinggi dan masih banyak produk unggulan yang belum teridentifikasi;
  • Pedekatan Investasi dibaringi dengan pendekatan konsumsi domestik, pengembangan perkebunan melalui investasi memang masih menjadi primadona namun perlu juga dipertimbangan dengan upaya peningkatan konsumsi domestik yang sangat potensial;
  • Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan ekonomi rakyat, dampak pemberdayaan adalah peningkatan kesejahteraan yang sesuai dengan karaketeristik dan kualitas SDM, bukan menciptakan ketergantungan, melainkan memicu keberdayaan terhadap kemampuan konsumsi yang layak sesuai dengan dinamika dalam masyarakat itu sendiri;
  • ·Revitalisasi manajemen dan kelembagaan melalui peningkatan kapasitas lembaga serta kanalisasi terhadap komunikasi publik, sehingga manajemen pengawasan lebih efektif dan efisien serta mampu mengurangi parktik-praktik KKN melalui re-biroktatiasi BUMN Perkebunan kearah transparansi dan dapat dipertangungjawabkan;
  • Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, sebagai pilar utama dalam menjalankan program dan aktivitas bisnis dan pemberdayaan masyarakat, melalui transformasi informasi dan teknologi secara langsung dan transparan kepada stakeholder BUMN Perkebunan dan secara terpusat pada keahlian yang memerlukan spesifikasi tertentu.

Upaya revitalisasi BUMN Perkebunan adalah upaya perubahan yang menyeluruh dan terencana secara bertahap. Diawali dengan komitmen yang tegas terhadap usaha perbaikan oleh para pihak yang telibat didalamnya. Sehingga akan tercipta BUMN yang sinergis dengan program pemerintah dan mampu eksis  mengahadapi era globalisasi dan pasar bebas.



PUSTAKA

  • Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahgun 2003 Tentang BUMN
  • Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia Tahun 2005.
  • Anonim. 2005.Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2006. Departemen Pertanian. Jakarta.
  • ______. 2005. Peran Pertanian, Kelautan-Perikanan dan Kehutanan Dalam Perekonomian Nasional. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
  • Mangunjaya, Fachruddin.M. 2005.Konservasi Alam Dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
  • Sa’id, E.Gumbira dan Yayuk Eka Prastiwi. 2005. Agribisnis Syariah Manajemen Agribisnis Dalam Prespektif Syariah Islam. Penebar Swadaya. Jakarta.
  • Sumarjo, Jaka Sulaksana dan  Wahyu Aris Darmono. 2004. Teori dan Praktek Kemitraan Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.
  • Jamasy, Owin.et al (ed.). 2001. Pembangunan Pertanian Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa. Bina Swadaya. Jakarta.
  • Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Makalah Konperensi Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Waligereja Indonesia Yogyakarta 12 September 2002, Artikel –TH.II-No.03-Mei 2003.Jakarta.



[1] Departemen Pertanian, Rencana Pembangunan Pertanian 2006, Jakarta-Juli 2005.
[2] Sawit, H.Husein, 2003, dalam “Kegagalan Perundingan Pertanian WTO di  Cancun : Peluang atau Ancaman buat Ekonomi Rakyat”, Artikel Th.II.No. 8- November 2003.
[3] Pakpahan, Agus.,2004
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Jamasy, Owin., 2001. dalam Pembangunan Pertanian Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa, hal 6-7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar